Kenapa Harus Belajar Matematika
Saya bertanya: Bu, kenapa koordinat dibagi jadi empat kuadran?
Ibu menjawab: Itu sudah kesepakatan ilmuwan jaman dulu.
Saya bertanya: Bu, kenapa ada ples ada mines?
Ibu menjawab lagi: Itu sudah kesepakatan ilmuwan jaman dulu.
Saya bertanya: Bu, kenapa rumus luas lingkaran harus memakai pi sebagai pengali?
Ibu menjawab lagi-lagi dengan jawaban: Itu sudah kesepakatan ilmuwan jaman dulu.
Yah, lagi-lagi waktu itu saya kerjakan soal-soal matematika dengan doktrin Ibu yang masih tergiang jelas di kepala, bahwa apa boleh buat memang dasar kita ini korban para ilmuwan terhormat jaman dulu.
Tapi toh saya juga tidak merasa keberatan belajar matematika, kecuali waktu kalkulus makin bikin mumet saja dengan lambang-lambang integral dan diferensial. Saya lebih suka aljabar linier yang lebih berkotak-kotak dengan matriks, tidak berkurva mulus seperti kalkulus.
Sementara itu teman-teman sekolah saya makin banyak yang mempertanyakan nasibnya, keharusannya mempelajari matematika selama 12 tahun. Saya masih belum terlalu keberatan karena rupanya matematika lumayan asik. Menulis tampaknya lebih asik, cuma sayang saya tidak punya motivasi menghapal. Jadi nilai bahasa Indonesia saya ya sedang-sedang saja. Cukuplah untuk lolos dari jenjang satu ke jenjang sekolah lain.
Sekarang kalau saya pikir-pikir lagi, matematika memang membuat hidup jadi lebih mudah. Saya tidak bisa bayangkan memberi perintah kepada tukang batu untuk pasang ubin 30 cm x 30 cm di lantai kamar tidur utama yang luasnya 3 meter kali 5 meter. Coba kalau tidak istilah matematika seperti satuan panjang dan satuan luas, mungkin saya harus bilang:
Pak, ubinnya segede-gede gini ya, yang sebelah sini panjangnya 2 tapak tangan saya. Sebelah sini juga sama.
Terus, Pak… kamar ini yang mau dipasangin ubin. Dinding sebelah sini panjangnya 3 badan saya yang sebelah sini panjang dindingnya 3 badan bapak.
Arrghhh, repot kan?
Setelah masa 12 tahun itu lewat, saya mulai berkenalan dengan matematika bentuk lain yang semakin membuyarkan anggapan bahwa matematika adalah pelajaran ilmu pasti. Begitu banyak ketidakpastian yang akan didapati semakin dalam matematika dipelajari. Untung saja istilah ilmu pasti sudah tidak dipakai, kalau tidak makin banyak saja yang akan mempertanyakannya.
Bayangkan kalau semua murid SMA dikasih tau bahwa ada data untuk penyelidikan nilai pi pada rumus lingkaran yang ternyata palsu tapi nilai pi itu sendiri dipakai seratus tahun lebih. Atau ternyata Isaac Newton kemungkinan menggunakan data bikin-bikinan.
Atau diberi tau bahwa Max Planc yang memenangkan hadiah Nobel mengatakan bahwa: Kebenaran baru ilmiah bukannya diterima dengan meyakinkan ilmuwan lawan-lawannya dan membuat mereka melihat cahaya kebenaran dari ilmu yang baru. Kebenaran baru itu diterima karena ilmuwan yang tidak setuju dengannya… akhirnya meninggal, dan generasi yang baru tumbuh bersama ilmu baru yang akrab dengannya.
Yah, ini memang tidak menjawab pertanyaan kenapa kita harus belajar matematika. Tapi seperti juga ilmu untuk bertahan hidup lain, saya yakinkan bahwa matematika memang perlu. Terutama untuk menghitung zakat dan pajak. Oh, dan warisan juga
Filed under: mathemagic | Tagged: mathemagic | Leave a comment »